Sarjana Kertas

Oleh Selvianus Dar

   Musim tanam kali ini orang-orang lebih memilih ladang kering untuk beraktifitas tani. Karena bekerja di ladang, jadinya kampung kosong melompong di siang hari. Tak ada penghuni. Jika ada pegawai capil (catatan sipil) atau pegawai statistik datang untuk mendata nama-nama setiap rumah, lolongan anjing saja menyapa pegawai-pegawai itu, sementara penduduk sudah berasing ke ladang yang tidak jauh dari kampung dan kadang jauh hingga ke pegunungan dan juga ke lembah yang mereka, pegawai itu tidak mengetahui keberadaannya. Ada yang berasing keladang perkebunan kopi, jagung dan padi. Tetapi kampung ini hanya memiliki penghasilan yang cukup banyak dari biji kemiri yang dikelola cukup lama dan membutuhkan kesabaran tingkat tinggi untuk bisa memetik uangnya, warga harus membiarkan biji kemiri itu untuk berjemur dibawah terik matahari hingga merubah warnahnya menjadi keputihan campur coklat dan meringkih. Proses ini membutuhkan tiga atau empat hari lamanya untuk selanjutnya pengupasan kulit tebal luar dan mengambil isi putih di dalamnya yang bulat dan selanjutnya ditampung kedalam karung. Proses ini cukup lama namun ada proses lain yang lebih efisien tenaga dan waktu dan dibuatnya tenda berbentuk vertikal di atas tungku api yang membara. Cara ini hanya membutuhkan satu sampai dua jam dan langsung keproses pengupasan.
    Kampung ini disebut kampung subur sebab segalah jenis tanaman yang di kelola petani akan menghasilkan uang dan membantu warga untuk bertahan hidup untuk berapa hari kedepan dan bahkan bertahan berapa bulan lamanya. Tiap hari hanya berkebun dan berkebun. Sementara anak-anak mereka harus bersekolah ke kampung sebelah yang berjarak tiga kilometer. Jika berjalan kaki cukup melelahkan bagi anak anak seusia mereka, namun jika menggunakan kendaraan bermotor tidak akan memakan waktu banyak. Cukup beberapa menit sampai. Sayangnya apalah daya kehidupan sosial di kampung bagian timur Indonesia sana lebih menyedihkan dan membosankan mulut-mulut berbusa mama-mama setiap kali keluar rumah atau hanya sekedar untuk pergi ke pasar dengan mengunakan oto kol kayu yang dibelikan khusus oleh pemerintah daerah untuk mengangkut penghasilan warga dari kampung-kampung untuk dibawa ke pasar dan ke kota.
     Anak-anak yang bersekolah tinggi lebih memilih ke kota, di tanah Jawa yang katanya penuh kejayaan belaka. Meninggalkan kampung halaman dan leluhur demi cita-cita yang mulia dan kota yang besar penuh dengan mobil-mobil mewah hilir mudik di Jalan raya yang luas dan lebar beraspal licin. Juga tidak kalah menariknya pesona mba-mba Jawa yang cantik nan rupawan. Membuat anak-anak yang bercita-cita menjadi profesor dan pegawai pemerintahan jatuh kepada kepalsuan kehidupan kota. Pulang tanpa ijasah dan membawa cerita dari kota yang penuh dengan kehidupan heroik dan pelik.          Kehidupan kota tidak sama dengan kehidupan di kampung atau di desa yang penuh kesederhanan sungguh nyata.
     Atau berpulang ke kampung untuk berlibur beberapa bulan lamanya, setidaknya menjual kecerdasan cara pikir orang kota lewat mahasiswa-mahasiswa yang berlibur panjang itu dan mewarisinya ke regenerasi berikutnya untuk bisa sedikit menunjukkan kepada kepala adat kampung dan kepada seluruh isi kampung bahwa pendidikan itu penting. Dan berburuh-buruh mama-mama kampung dan bapak-bapak kampung menyuruh anak mereka yang masih duduk dibangku sekolah menengah atas untuk sesegera mungkin mendengar cerita tentang kota, pendidikan kota dan ini isyarat khusus dari mama-mama dan bapa-bapa kampung untuk berharap pada Tuhan anaknya tertarik atas cerita kakak-kakak mahasiswa itu.
“ oh,Tuhan. Semoga saja,semoga saja. Anak kami, tertarik! Berharap mereka, hingga tiba senja dan malam mengaburkan obrolan-obrolan mereka tentang kota.
Bergantikan malam yang dingin, makin malam kelelawar berterbangan di kegelapan dan singgah di pohon kapuk. Sementara anjing-anjing kampung melolong entah karena melihat suanggi berkelebat berkeliaran di malam itu atau hanya sekedar melolong. Mama-mama terus berdesus meminta kepada Tuhannya untuk menyetujui isi pikirannya sendiri. Dan cita-cita mereka untuk anaknya bisa sekolah ke kota besar di Jawa atau kota besar lainnya, Tuhan kiranya mendengarnya dan mengabulkan doa mereka.
     Mama-mama makin penasaran dengan kehidupan kota yang selalu menggugah rasa mereka untuk mencari tahu tentang apa saja hiruk pikuk atau sesekali mereka membayangkan dalam imajinasi mereka tentang kota yang besar dan penuh oto mewah dan gedung yang besar yang tak pernah mereka temukan itu di kampung. Ditambah cerita anak-anak mahasiswa yang berdatangan membuat kehidupan sederhana kampung hilang sekejap mata. Memilih tinggal di kota yang tak susah cari makan enak. Kota yang menyediakan dan menjual kue-kue enak dan roti serta keju yang lezat.
Namun tidak ada jalan untuk mereka yang hanya menjadi istri dari orang-orang kampung. Istri dari bapak-bapak kampung yang kesehariannya hanya menumbuk kopi dengan alu dan mengupas kemiri dengan batu dan wewa. Dan seperti yang mereka doakan setiap hari, Tuhan ternyata baik dan mengabulkan permohonan mereka lewat doa-doa pada siang dan malam hanya untuk pendidikan anaknya yang lebih baik di kota.
     Generasi merekapun bertumbuh dan setelah lulus sekolah menengah atas, mama dan bapaknya akan membuatkan pesta sekolah, memohon bantuan masyarakat kampung untuk bergotong royong menambah biaya perkuliahan anak mereka di kota. Dan setiap anak-anak yang sekolah di kota akan menjadi buah bibir orang-orang untuk sekedar mengobrol dan mengagum-agumkan keluarga dari si anak yang bersekolah itu. Yang ternyata sekolah bukan lagi menjadi sebuah kepentingan untuk meraih ilmu pengetahuan, namun bagi masyarakat kampung sudah menjadi budaya yang hanya sekedar mencari nama dan mengangkat harkat dan martabat keluarga semata. Dan kelak, jika anak mereka perempuan, tentu merupakan investasi jangka panjang guna mendapatkan belis yang tinggi yang akan mereka terima jika anak mereka dipinang seorang menantu karena itu belis yang pas untuk anak mereka yang sarjana.
     Teringat sarjana sekarang di kampung sudah tidak lagi banyak berharap untuk bisa bekerja di bagian pemerintahan atau menjadi pegawai negeri sipil. Ini karena banyaknya sarjana pengangguran yang pulang membawa kertas putih yang tipis dan berharga itu tanpa mengharapkan pekerjaan apa yang akan dia lakukan di kampung. Surat itu hanya menjadi surat penting yang di perarakan keliling kampung dan sambil mengatakan.
“ saya sarjana, saya sarjana!”
Kadang orang yang tak berpendidikan menimpali “ kami sarjana, kami sarjana! Kami sarjana” penganguran, yang tak punya pekerjan tetap, yang sama dengan tak berpendidikan,” sambungnya.
Baik sarjana hukum, politik, ekonomi, keguruan sama saja tak ada pekerjaan tetap dan menjadi pegawai negeri sipil. Semua sirna dalam pikiran mama-mama dan bapa-bapa serta para sarjana itu sendiri. Dan bergaul dengan orang kampung yang bermabuk-mabukan, membikin onar di pesta dan mencari cewek SMP dan SMA yang akan pulang dari sekolahan. Sesekali nongkrong di kios baba Flori dan mendengar cerita sukses dari baba Flori yang tidak pernah mendapat bangku pendidikan dari kecil tetapi sukses dalam berkarir sebagai pembuka kios. Cerita baba Flori membuat kepala adat dan seluruh isi kampung tak ingin anaknya untuk bersekolah lagi.
“ untuk apa sekolah?” Kakak kalian saja masih menganggur dan berkeliaran seperti anjing yang tak bertuan. Kita tidak perlu produk sarjana lagi, sebab buang buang modal dan pikiran saja.
Sarjana-sarjana pengangguran itu hanya minum tuak dan berpesta, lalu mencuri babi warga atau ayam untuk dimakan campur sopi. Sukses tak membutuhkan ijasah atau gelar sarjana. Sukses itu, murni dan bervariatif.**

Istilah-istilah
Sopi adalah minuman beralkohol asal flores
Oto kol angkutan umum yang terbuat dari kayu
Wewa alat untuk membantu mengupas kulit biji kemiri

Catatan : Selvianus Dar
Penulis Buku Pergulatan dan Intuisi.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*