Sang Lacur Berkedok Diam

Oleh: Adrianus Tap

Jikalau memang air mata adalah tanda sesal menghapus kenangan. Pasti sedari dulu aku akan membanjiri diri dengannya. Tetapi cukup sulit untuk menghapus semuanya. Catatan kenangan telah terpatri jelas dalam diary kusamku yang pernah aku tulis disekian tahun yang telah berlalu. Mungkin kamu pernah berpikir bahwa, apa yang telah terjadi disekian waktu merupakan hal yang aku cita-citakan. Sekali-kali tidak. Dulu aku bercita-cita menjadi seorang guru matematika ideal yang disukai sekian banyak murid. Namun cita-cita itu musnah bersama mimpi yang berkedok malam, sejak ayah pergi tanpa sepatah kata pamit pada tikung jalan raya menuju kota. Ia pergi meninggalkan kami berempat. Mobil Sedan merenggut nyawanya, pada saat ia mau mencapai tanjakan kecil. Ia tidak melihat mobil Sedan merebut jalurnya pada tikungan yang bisa dihitung jengkal didepannya.

Kini beban hidup keluarga sudah menjadi tanggung jawabku sebagai anak sulung. Menanggung hidup keluarga pada usia yang masih belia nan ranum merupakan suatu hal yang amat sulit dan berat. Apalagi ibuku yang telah lama berbaring diri akibat penyakit lumpuh yang telah mematikan setiap saraf pada tubuhnya. Ia juga tinggal tunggu waktu untuk berpamit diri dengan kami. Tidak ada jalan lain untuk memenuhi kebutuhan keluarga selain, aku harus merantau ke tanah Jawa. Meninggalkan ibu dan ketiga adikku, amat berat. Aku pergi dengan meneteskan air mata. Apakah aku bisa menanggung semua beban keluarga ini?, cerutku saat bergegas kedalam sebuah angkot menuju pelabuhan.

Awalnya aku merantau ke tanah Jawa untuk mencari pekerjaan. Namun bermodal ijazah SMP membuat aku kesulitan mendapatkan pekerjaan. Aku pun diterima disebuah kaffe sebagai pelayan. Berangkat pagi, pulang malam adalah rutinitas harianku. Setelah sekian waktu aku bekerja di situ. Aku pun diberhentikan dengan tidak hormat oleh tuan kaffe, karena aku kesulitan dalam berbahasa asing. Hampir setiap hari kaffe itu dipenuhi oleh wisatawan asing. setiap kali menerima gajian, sebagiannya aku mengirimnya ke kampung dan sebagiannya aku gunakan untuk kebutuhan harianku. Lalu, aku mencari pekerjaan baru. Membawa map yang isi lamaran pekerjaan kesetiap toko. Setidaknya aku diterima untuk menjadi pelayan toko.

Di saat yang sama juga aku juga berkenalan dengan seorang laki-laki yang umurnya tidak jauh dari umurku. Dia adalah mahasiswa pada sebuah kampus ternama. Sejenak melihat gayanya, ia anak orang kaya dan memiliki motor vixon yang telah dimodifit. Kami saling berkenalan di sebuah toko tempat aku bekerja. Aku berkerja di sebuah butik milik seorang anggota dewan alias legislatif di daerah itu. Setiap hari sebelum ia pergi ke kampus ia menyempatkan diri untuk menghantar aku ke tempat kerja serta pada sore hari ia datang menjemputku. Perkenalan cukup lama membuat kami semakin nyaman. Kami pun saling jatuh cinta pada rasa yang sama. Saking cintanya, aku membiarkan ia mencicipi setiap inci tubuhku. Sudah pasti ia juga merenggut keperawananku. Kami berpacaran cukup lama. Ia selalu menjanjikan diri untuk menikahi aku. Tetapi pada suatu saat, ia pergi tanpa alasan yang belum aku kemas. Ratapan penyesalan sudah sejadi-jadinya. Mungkin ini takdirku.

Tibalah suatu saat, aku mengenal dengan seorang pria yang usianya cukup jauh dariku. Lebih tepatnya ia menjadi seorang ayah. Ia menjanjikan aku dengan sebuah pekerjaan. Aku cukup tergiur dengan janji pada mulut manis dan sifat serta sikap baiknya setiap kali kami berpapasan dalam temu. Ia menghantarkan aku kesebuah gedung yang megah, dengan hingar-bingar lampu diskotik serta tata ruang yang cukup elegan. Dalam benak, aku berpikir pasti dijadikan pelayan di sini. Lambat-laun, seiring dengan waktu bukan pelayan biasa yang aku geluti melainkan menjadi pelayan bagi lelaki hidung belang yang dirundung sepi.

Sudah tidak ada jalan dan pilihan lain selain menerima pekerjaan ini. ApalagiĀ  Ibu dan ketiga saudaraku sering menelepon dan memintaku untuk mengirimkan uang untuk makan dan membiayai pengobatan ibu. Pilihan ini cukup dilema, aku mengorbankan diri demi keluargaku. Aku sempat mencoba menolaknya, tetapi aku berpikir lagi tentang keluargaku. Dengan gaji yang cukup besar, setidaknya aku mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Meskipun aku tahu, ini adalah pekerjaan yang paling hina. Tidak ada jalan lain, selain menerimanya. Kadang air mata kian banyak menetes dinetraku.
Mereka datang meniduriku tanpa sehelai pembatas, bau keringat, rokok dan alkohol adalah sarapan setiap saat pada indraku. Mereka menjamah setiap inci tubuhku. Melumat sedemkian mungkin bibirku yang cukup belia menerima isapan ganas dari mereka. Mereka dengan beringas menggigit dua puting payudaraku yang montok dan ranum. Hambir seluruh tubuhku mereka melahap dengan lidah yang beringas termakan nafsu liar. Sudah pasti mereka juga menjilat dan memainkan dengan manja pada klitorisku. Keringat bercucuran mengalir disetiap pori-pori kulit lantas permainan cukup melelahkan. Setelah puas melumat, juga meminta aku untuk menyopong rudal balistik Korea Utara atau lebih tepatnya mengoral penis mereka. Mereka tidak ampun-ampun menyodok liang suciku dengan hentakan yang tidak berbelas kasih. Pokoknya mereka beringas seperti anjing liar yang kelaparan.

Kadang di saat itu, aku sering menumpahkan air mata. Andai saja ayah masih hidup, pasti aku tidak menanggung beban dengan pekerjaan yang paling hina ini. Ibu dan ketiga adikku tidak tahu tentang pekerjaanku. Mereka masih berpikir aku masih bekerja di toko. Tiga tahun aku bekerja sebagai pemuas rasa nafsu dari sekian banyak lelaki. Tiba saatnya aku kembali ke kampung. Senyum bahagia ibu dan ketiga adikku menghapus semua kenangan pahit yang pernah terjadi.

Kini aku telah menikah dengan seorang lelaki yang mau menerima aku apa adanya serta kami dikarunia seorang anak laki-laki. Bersama waktu aku memintal sekian banyak kenangan pahit bersama kebahagian keluarga kecilku.**

(Penulis adalah Pegiat Sastra Sampul Buku Unit Gabriel. Asal Lembor-Manggari Barat. Tinggal di Ledalero-Maumere)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*