Oleh Hironimus Sariman Jaya (Aktivis PMKRI Denpasar)
Sejak Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores (BOPLBF) mendapat legitimasi untuk mengelola pariwisata Labuan Bajo dan Taman Nasional Komdo (TNK) melalui Perpres No.32 Tahun 2018, BOPLBF
terus mendapatkan kritikan keras dari berbagai elemen masyarakat Manggarai Barat termasuk
pemerhati lingkungan yang berasal dari luar kabupaten Manggarai Barat terkait pembangunan pariwisata yang dinilai merusak keberlangsungan ekologi.
Selain pembangunan di Taman Nasional Komodo yang dinilai memberikan dampak buruk pada keberlansungan satwa langka Komodo, salah satu persoalan yang lagi diperbincangkan saat ini adalah perubahan status hutan Boewosie menjadi kawasan pariwisata dengan skema penghapusan status hutan menjadi bukan hutan yang diatur dalam Perpres No.32 Tahun 2018 dan skema izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam (IUPSWA).
Alih fungsi hutan ini direncanakan akan terbagi dalam 4 zona, yakni, zona cultural distric, zona leisure district, zona wildlife district, dan zona adventure district. Dan dalam pengembangannya BOP-LBF mengundang pihak swasta dengan memperlihatkan skema penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDA).
Di hutan Bowosie sendiri terdapat 14 titik sumber mata air yang digunakan untuk kebutuhan sektor pertanian dan sumber air bersih bagi masyarakat sekitarnya yang meliputi beberapa desa adat yakni:
kampung Nggorang, Dalong, Watu Langkas, Kaper, Marombok, Waemata dan Lancang.
Meskipun dengan adanya 14 sumber mata air di hutan Bowosie tersebut, tetap saja belum mampu memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat Labuan Bajo dan sekitarnya, karena faktanya masih adanya
masyarakat Labuan Bajo yang kekurangan air bersih, karena sebagian besar air bersih hanya disalurkan untuk kebutuhan hotel-hotel, villa dan masyarakat kelas atas.
Ditengah situasi masyarakat Labuan Bajo dan sekitar sedang mengalami krisis air bersih, pemerintah yang seharusnya melahirkan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap keberlangsungan ekologi. Memelihara integritas tatanan lingkungan agar sistem penunjang kehidupan di bumi tetap terjamin dan
sistem produktivitas, adaptabilitas, dan pemulihan tanah, air, udara dan seluruh kehidupan berkelanjutan tetap terjamin. Malah faktanya pemerintah melaui BOPLBF justru malahirkan rencana pembangunan yang berpotensi semakin memperparahnya hal-hal tersebut khususnya persediaan air bersih bagi masyarakat.
Dari dahulu Pemerintah khususnya pemerintah Manggarai Barat memiliki utang yang sangat serius terhadap masyakat Kabupaten Manggarai Barat khususnya Labuan Bajo dan sekitarnya, sejak Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) dimekarkan dari Kabupaten Manggarai pada tahun 2003 lalu, masyarakat Labuan Bajo dan sekitarnya masih mengalami kekurangan air bersih. Kelangkaan air bersih di Labuan Bajo dan sekitarnya justru dijadikan ladang bisnis yang dijadikan produk dagangan dan masyarakat harus membeli air tangki untuk kebutuhan memasak, mandi, mencuci dll. Kondisi ini semakin mencekik masyarakat kecil dan mirisnya,
pemerintah melihat persoalan ini tetapi lebih memilih untuk menonton sambil berpangku tangan di atas penderitaan rakyat Labuan Bajo dan sekitarnya lalu sibuk berselingkuh dengan kapitalis.
Hal yang sama dirasakan oleh masyarakat di pulau Komodo, sejak puluhan tahun lalu sulit mendapatkan air bersih. Dan untuk mendapatkan air bersih layak konsumsi, warga pulau Komodo harus menyebrang menggunakan perahu motor ke Labuan Bajo untuk membeli air atau dengan terpaksa membeli air bersih di kapal perahu yang menjual air bersih dengan cukup mahal, harga air setiap jerigen 20 liter mulai dari Rp 30 Ribu hingga Rp 50 Ribu. Sementara keberadaan Pulau Komodo menjadi tempat favorit perjalan wisata dari turis lokal dan turis mancanegara karena di sana merupakan habitat dari satwa langka yaitu Komodo.
Polemik ini menimbulkan pertanyaan besar di benak sebagian masyarakat Manggarai Barat saat ini, dimana perhatian pemerintah selama ini dan kemana aliran dana pendapatan pariwisata pulau Komodo
selama ini? Kenapa raelitas kehidupan masyarakat pulau Komodo terhempas dan tergeletak jauh dari
tersohornya pulau Komodo masuk dalam 7 keajaiban dunia?
Ketidakpedulian pemerintah terpampang jelas dengan melihat tealitas ini, pemerintah sibuk memenuhi kebutuhan dirinya-sendiri dan antek-anteknya yang membuat masyarakat jatuh pada juran kesengsaraan, ditambah lagi pembangunan di Taman Nasional Komodo yang dilakukan BOPLBF yang malah mengancam keberlangsungan dari satwa
Komodo itu sendiri. Pemerintah khususnya pemerintah Kabupaten Manggarai Barat betul-betul tidak serius dalam menangani persoalan krisis air bersih ini. Saling tuduh-menuduh terhadap pemerintah yang sebelumnya menjadi jurus yang jitu untuk menghindar dari tututan masyarakat.
Pemerintah setempat sudah menghabiskan anggaran untuk pembangunan instalasi air bersih. Pada tahun 2013 lalu, proyek air minum bersih yang bersumber dari dana percepatan pembangunan Sail Komodo 2013 senilai Rp116 miliar seperti menguap tanpa bekas. Proyek ini hanya meninggalkan jaringan pipa tanpa air. Pemkab Manggarai Barat sejak beberapa tahun lalu juga melalui APBD II mengenlontorkan dana mencapai Rp. 35 miliar lebih untuk proyek serupa, namun warga Labuan Bajo dan sekitarnya masih juga mengalami krisis air bersih. Bahkan tiap tahun selalu mengalir anggaran untuk pembangunan air minum. Angka tiap tahun mencapai Rp10 miliar. Kemana semua dana itu mengalir?
Pola yang sama terus dimainkan oleh setiap Bupati terpilih di Manggarai Barat dari setiap priode ke periode berikutnya selalu menjanjikan ketersedian air bersih bagi masyarakatnya. Modelnya sama, proyek-proyek itu mulai dikerjakan lalu mangkrak di tengah jalan dan tidak pernah terselesaikan.
Sekarang Bupati terpilih Edistasius Endi dan wakilnya Yulianus Weng yang baru dilantik pada tanggal 26/02/2021 lalu, sudah mulai melakukan proyek pengadaan air bersih di Labuan Bajo dan sekitarnya. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari LABUAN BAJO KABARNTT.CO– Bupati Manggarai Barat (Mabar), Edistasius Endi, mengatakan, Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Wae Mese II, Kota Labuan Bajo, Manggarai Barat, ditargetkan rampung pada Desember 2021. Ini menjadi harapan baru akan terwujudnya ketersediaan air bersih di Labuan Bajo, di satu pihak tapi di pihak lain, ini menjadi teka-teki di tengah masyarakat Manggarai Barat saat ini, akan kah proyek pengadaan air bersih ini bakal senasib dengan proyek-proyek sebelumnya yang hanya menyisakan hamparan pipa tak berair.
Kebutuhan rakyat akan air bersih adalah kebutuhan yang mendasar dan universal karena sangat menentukan keberlangsungan kualitas hidup mereka, dengan demikian menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya itu.
Pengalihan fungsi hutan Bowosie menjadi lahan investasi oleh BOP-LBF merupakan ambisi gila tak terkontrol, karena memberikan dampak buruk terhadap keberlangsungan 14 sumber mata air dan
keberlangsungan keanekaragaman hayati di hutan itu.
Persoalan ini semakin memperjelas bahwa
pemerintah sekarang sudah mengambil jarak yang sangat jauh dengan rakyatnya, meninggalkan kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan mereka dan hanya peka terhadap kebutuhan kapitalis lewat
kebijakan-kebijakanya yang sayarat terhadap kepentingan investor semata.
Kebijakan itu sungguh keterlaluan, karena ditengah masyarakat sedang mengalami krisis air bersih, BOP-LBF malah hadir dengan menggandeng pembangunan yang justru mengancam keberlangsungan
keanekaragaman hayati dan sember mata air yang masih tersedia untuk rakyat.
BOP-LBF ini sudah dirasuki oleh kepentingan kapitalis, karena bisa dilihat dari bentuk pelaksanaan
kebijakannya, mulai dari pembangunan di Taman Nasional Komodo (TNK) yang dinilai memberikan dampak buruk bagi keberlangsungan hidup spesies Komodo di tempat itu sampai pada pengalihan fungsi
hutan Bowosie menjadi lahan investasi yang memberikan dampak buruk bagi keberlangsungan ekologi termasuk 14 sumber mata air bagi sekitar tujuh desa yang berada di sekitar wilayah hutan tersebut. Mirisnya, pemerintah setempat justru tunduk di bawah pengaruh kapitalis, lalu memilih untuk diam seolah semuanya baik-baik saja.
Lalu di tengah persoalan pemanasan global saat ini, hutan merupakan salah satu komponen dalam lingkungan hidup yang dapat meminimalisir efek rumah kaca, hutan seharusnya dijaga untuk menjaga bumi dari perubahan iklim yang ekstrim dan pemanasan global yang di sebabkan oleh industri dan
pembangunan yang tidak mengedepankan keberlangsungan ekologi.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Forest Watch Indonesia (FWI) pada rentang tahun 2000-2009, Indonesia kehilangan hutan alam seluas 1,4 juta ha/tahun. Pada periode selanjutnya 2009-2013 luasan
hutan alam yang hilang berkurang menjadi 1,1 juta ha/tahun dan kembali naik pada periode 2013-2017 menjadi 1,4 juta ha/tahun. Mengingat hutan menjadi kunci untuk meminimalisir terjadinya pemanasan global, maka sudah seharusnya keberadaan hutan harus menjadi perhatian utama bagi negara-negara yang masih memiliki kawasan hutan termasuk Indonesia. Tetapi faktanya pemerintah justru mengambil posisi yang berlawanan dari seruan dunia untuk mengatasi pemanasan global, pengalihan fungsi hutan Bowosie di Labuan Bajo Kabupaten Manggarai
Barat yang tertuang dalam Perpres No.32 Tahun 2018 menjadi contoh nyata ambisi ugal-ugalan pemerintah dalam mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dengan cara menyulap hutan menjadi lahan investasi yang berorientasi pada laba semata tanpa memperhatikan dampak buruk jangka
panjangnya yang diakibatkan karena kerusakan lingkungan.
Saat ini, kita melihat secara langsung maupun melalui media bentuk pertumbuhan berlebihan tidak terkendali dari banyak kota besar di Indonesia maupun di dunia yang sudah tidak sehat lagi untuk dihuni, bukan hanya karena polusi yang disebabkan emisi beracun atau kekacauan perkotaan karena masalah taransportasi dan kebisingan, juga disebabkan karena keberadaan kota tanpa ruang terbuka hijau sebagai akibat penggunaan sumber daya alam yang melampaui batas wajar telah menyebabkan
banjir, kekeringan, dan krisis air bersih. Penduduknya hidup terhimpit oleh tembok beton, aspal, kaca dan logam yang berlebihan.
Keberadaan hutan Bowosie Labuan Bajo Kabupaten Manggarai Barat sangat penting dan harus dipertahankan keberadaanya, selain membantu mengurangi pemanasan global juga kebutuhan hidup
masyaakat sekitar sangat tergantung pada keberadaan hutan tersebut terlebih khusus ketersediaan air bersih melalui 14 titik sumber mata air yang berada dalam kawasan hutan tersebut.***
Leave a Reply